Setelah pasir berbisik tujuan kami
selanjutnya ke kawah bromo. Gue butuh waktu yang lumayan lama untuk tiba di
kawah, karena kami memutuskan untuk tidak mengguanakan jasa kuda sewaan
tapi berjalan kaki. Niat banget kan gue jalan naik gunung gitu, gempor cyiinn
..heheh
Dengan bantuan dari teman-teman
gue akhirnya gue nyampai juga di atas *ketawa puas*
Sambil jalan turun dengan santai
kami foto-foto dulu (how beatiful there) ;")
Selain berfoto ria kami juga
bermain-main untuk menghilangkan rasa lelah kami. Karena saat itu gue
kecapekan gue ngajak temen-temen gue yang cowok untuk berjalan seperti kereta
api sambil megangin ransel temannya, dan yang paling depan yang harus
berjalan paling cepat dari yang lain. Udah pasti dong gue milih paling
belakang *heheheh devil laugh* namun tanpa gue sadar ketiga teman gue berniat
usilin gue dan beruntungnya saat jalan gue gak natap kedepan tapi kebawah
untuk ngurangin rasa capek gue* so gue gak kena trap mereka yang berniat
dupaya gue nginjek kotoran kuda -_____-
Ternyata
baru gue sadari perjalanan yang gue lalui untuk sampai ke kawah itu sejauh
ini
-______-
Tapi lo semua tahu kan ada kisah
suku Tengger di Bromo??
Gak usah bingung kalau gak tahu,
ini gue kasih reviewnya yang gue dapet dari simbah \o/
konon pada jaman dahulu kala ketika kerajaan
majapahit mengalami serangan dari berbagai daerah penduduk pribumi
kebingungan untuk mencari tempat tinggal hingga pada akhirnya mereka terpisah
menjadi 2 bagian yan pertama menuju ke gunung Bromo dan yang kedua menuju
Bali. Ke 2 tempat ini sampai sekarang mempunyai 2 kesamaan yaitu sama -sama
menganut kepercayaan beragama Hindu.
Disebut suku Tengger di kawasan Gunung
Bromo, Nama Tengger berasal dari Legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang
diyakini sebagai asal usul nama Tengger itu. “Teng” akhiran nama Roro
An-”teng” dan “ger” akhiran nama dari Joko Se-”ger” dan Gunung Bromo sendiri
dipercaya sebagai gunung suci. Mereka menyebutnya sebagai Gunung Brahma.
orang Jawa kemudian menyebutnya Gunung Bromo.
Di sebuah pertapaan, istri seorang Brahmana
/ Pandhita baru saja melahirkan seorang putra yang fisiknya sangat bugar
dengan tangisan yang sangat keras ketika lahir, dan karenanya bayi tersebut
diberi nama ” JOKO SEGER “.
Di tempat sekitar Gunung Pananjakan, pada
waktu itu ada seorang anak perempuan yang lahir dari titisan dewa. Wajahnya
cantik dan elok. Dia satu-satunya anak yang paling cantik di tempat itu.
Ketika dilahirkan, anak itu tidak layaknya bayi lahir. Ia diam, tidak
menangis sewaktu pertama kali menghirup udara. Bayi itu begitu tenang, lahir
tanpa menangis dari rahim ibunya. Maka oleh orang tuanya, bayi itu dinamai
Rara Anteng.
Dari hari ke hari tubuh Rara Anteng tumbuh menjadi
besar. Garis-garis kecantikan nampak jelas diwajahnya. Termasyurlah Rara
Anteng sampai ke berbagai tempat. Banyak putera raja melamarnya. Namun
pinangan itu ditolaknya, karena Rara Anteng sudah terpikat hatinya kepada
Joko Seger.
Suatu hari Rara Anteng dipinang oleh seorang
bajak yang terkenal sakti dan kuat. Bajak tersebut terkenal sangat jahat.
Rara Anteng yang terkenal halus perasaannya tidak berani menolak begitu saja
kepada pelamar yang sakti. Maka ia minta supaya dibuatkan lautan di tengah-tengah
gunung. Dengan permintaan yang aneh, dianggapnya pelamar sakti itu tidak akan
memenuhi permintaannya. Lautan yang diminta itu harus dibuat dalam waktu satu
malam, yaitu diawali saat matahari terbenam hingga selesai ketika matahari
terbit. Disanggupinya permintaan Rara Anteng tersebut.
Pelamar sakti tadi memulai mengerjakan
lautan dengan alat sebuah tempurung (batok kelapa) dan pekerjaan itu hampir
selesai. Melihat kenyataan demikian, hati Rara Anteng mulai gelisah.
Bagaimana cara menggagalkan lautan yang sedang dikerjakan oleh Bajak itu?
Rara Anteng merenungi nasibnya, ia tidak bisa hidup bersuamikan orang yang
tidak ia cintai. Kemudian ia berusaha menenangkan dirinya. Tiba-tiba timbul
niat untuk menggagalkan pekerjaan Bajak itu.
Rara Anteng mulai menumbuk padi di tengah
malam. Pelan-pelan suara tumbukan dan gesekan alu membangunkan ayam-ayam yang
sedang tidur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, seolah-olah fajar telah tiba,
tetapi penduduk belum mulai dengan kegiatan pagi.
Bajak mendengar ayam-ayam berkokok, tetapi
benang putih disebelah timur belum juga nampak. Berarti fajar datang sebelum
waktunya. Sesudah itu dia merenungi nasib sialnya. Rasa kesal dan marah
dicampur emosi dan pada akhirnya Tempurung (Batok kelapa) yang dipakai
sebagai alat mengeruk pasir itu dilemparkannya dan jatuh tertelungkup di
samping Gunung Bromo dan berubah menjadi sebuah gunung yang sampai sekarang
dinamakan Gunung Batok.
Dengan kegagalan Bajak membuat lautan di
tengah-tengah Gunung Bromo, suka citalah hati Rara Anteng. Ia melanjutkan
hubungan dengan kekasihnya, Joko Seger. Kemudian hari Rara Anteng dan Joko
Seger menjadi pasangan suami istri yang bahagia, karena keduanya saling
mengasihi dan mencintai.
Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger
membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan
Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya “Penguasa Tengger Yang Budiman”.
Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger.
Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi,
simbol perdamaian abadi.
Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup
makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah
beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga
dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung
Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar
karuniai keturunan.
Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan
bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan
keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan
Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang
putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan
putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji,
Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian
terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo
menyemburkan api.
Kusuma anak bungsunya lenyap dari pandangan
terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma
terdengarlah suara gaib :”Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah
dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua.
Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian
setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji yang berupa hasil bumi
dan di persambahkan kepada Hyang Widi asa di kawah Gunung Bromo. sampai
sekarang Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger
dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah
Gunung Bromo.
|
0 komentar:
Posting Komentar